Tiga Pilar Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

Pendahuluan

Filsafat ilmu adalah cabang filsafat yang secara khusus menyoroti hakikat, metode, dan tujuan dari ilmu pengetahuan (Pratiwi dkk., 2024). Keberadaannya menjadi penting karena ilmu bukan hanya sekadar kumpulan fakta atau data, melainkan suatu sistem pengetahuan yang harus dipahami secara mendalam (Unwakoly, 2022). Dengan memahami filsafat ilmu, seseorang akan lebih kritis dalam menerima informasi, lebih terarah dalam melakukan penelitian, serta lebih bijaksana dalam menggunakan hasil pengetahuan.

Dalam sejarah perkembangan ilmu, manusia sering kali terjebak pada sikap yang hanya menekankan salah satu aspek. Ada masa ketika manusia begitu yakin bahwa pengetahuan hanya berasal dari rasio, tanpa perlu pengalaman. Ada pula masa ketika pengalaman empiris dianggap mutlak, tanpa perlu pertimbangan akal. Di sinilah filsafat ilmu berperan dalam  memberikan keseimbangan dan kerangka berpikir agar ilmu tetap relevan dan bermanfaat (Pratiwi dkk., 2024).

Tiga aspek utama filsafat ilmu yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi dapat disebut sebagai pilar yang menopang bangunan pengetahuan manusia. Ontologi membahas tentang apa yang menjadi objek ilmu, epistemologi menelaah bagaimana cara memperoleh ilmu, sedangkan aksiologi menanyakan untuk apa ilmu digunakan (Rokhmah, 2021). Ketiganya tidak berdiri sendiri, melainkan saling melengkapi dalam membangun sistem pengetahuan yang utuh serta adanya keterkaitan.

Ontologi: Menyelami Hakikat Keberadaan

Ontologi berasal dari kata Yunani “ontos” yang berarti ada atau wujud, dan “logos” yang berarti ilmu atau kajian. Secara sederhana, ontologi adalah studi tentang keberadaan atau realitas. Dalam filsafat ilmu, ontologi membahas objek apa yang dikaji oleh ilmu pengetahuan serta bagaimana sifat hakikat dari objek tersebut (Munip, 2024).

Pertanyaan ontologis selalu berkisar pada “apa yang ada” dan “apa yang nyata.” Misalnya, apakah hanya hal-hal yang dapat diindera yang dapat dianggap nyata? Atau justru ada realitas non-fisik seperti jiwa, nilai, dan ide yang juga nyata meski tak terlihat? Plato dalam filsafat klasik meyakini bahwa dunia ide adalah realitas yang sesungguhnya, sedangkan dunia indrawi hanyalah bayangan. Berbeda dengan Aristoteles yang lebih menekankan realitas empiris sebagai wujud utama yang dapat dipelajari.

Dalam konteks ilmu modern, ontologi membantu menentukan batas kajian. Biologi misalnya, membatasi diri pada makhluk hidup. Fisika membatasi diri pada materi dan energi. Psikologi membatasi diri pada gejala jiwa. Namun, batas ini tidak selalu kaku dalam perkembangan ilmu, justru banyak terjadi ketika manusia berani menembus batas ontologis, contohnya neurosains yang menggabungkan aspek biologi dan psikologi (Ikhsan dkk., 2024).

Selain itu, ontologi juga membuka diskusi tentang hakikat realitas dalam berbagai bidang. Dalam filsafat Islam, misalnya, perdebatan muncul apakah pengetahuan hanya terbatas pada alam materi, atau juga mencakup hal-hal metafisik yang tidak kasat mata, seperti malaikat dan ruh. Hal ini menegaskan bahwa ontologi tidak hanya berperan dalam sains, tetapi juga dalam cara manusia memahami keberadaan dirinya dan alam semesta.

Epistemologi: Jalan Menuju Pengetahuan

Jika ontologi menanyakan “apa yang dikaji,” epistemologi menanyakan “bagaimana kita tahu.” Kata epistemologi berasal dari bahasa Yunani “episteme” yang berarti pengetahuan, dan “logos” yang berarti kajian. Dalam filsafat ilmu, epistemologi membicarakan sumber, cara, dan validitas pengetahuan (Pratiwi dkk., 2024).

Sejak zaman Yunani kuno, epistemologi menjadi perdebatan panjang. Kaum rasionalis seperti Descartes percaya bahwa akal adalah sumber utama pengetahuan yaitu bagi rasionalis, akal mampu menghasilkan pengetahuan yang pasti meskipun tanpa pengalaman. Di sisi lain, kaum empiris seperti John Locke menegaskan bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman indrawi. Locke menyebut manusia sejak lahir bagaikan “tabula rasa” yang kemudian diisi oleh pengalaman (Unwakoly, 2022).

Sementara itu, Immanuel Kant berusaha memadukan keduanya melalui kritisisme, dengan menyatakan bahwa pengetahuan lahir dari interaksi antara data pengalaman dan struktur bawaan akal. Dalam ilmu pengetahuan modern, epistemologi diwujudkan dalam metode ilmiah, yaitu pengamatan, eksperimen, pengujian, dan pembuktian untuk memastikan pengetahuan yang sahih (Ikhsan et al., 2024).

Selain itu, epistemologi juga menyoal kebenaran. Ada beberapa teori kebenaran yang berkembang, di antaranya teori korespondensi (kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan dan fakta), teori koherensi (kebenaran adalah konsistensi antar pernyataan), dan teori pragmatis (kebenaran adalah apa yang bermanfaat secara praktis). Ketiga teori ini digunakan dalam konteks yang berbeda (Pratiwi dkk., 2024). Epistemologi, dengan demikian, menjaga agar ilmu tidak jatuh ke dalam dogma atau kepercayaan buta. Ia menuntut setiap klaim pengetahuan diuji, dipertanyakan, dan diperbarui sesuai perkembangan bukti dan argumentasi.

Aksiologi: Etika dan Tujuan Pengetahuan

Setelah membahas objek (ontologi) dan metode (epistemologi), muncullah pertanyaan berikutnya: “untuk apa ilmu digunakan?” Inilah wilayah aksiologi, yaitu cabang filsafat ilmu yang menyoroti nilai, manfaat, dan tujuan dari pengetahuan (Munip, 2024). Aksiologi tidak bisa dilepaskan dari etika. Pengetahuan bisa membawa manfaat besar bagi manusia, tetapi juga berpotensi menimbulkan malapetaka. Penemuan energi nuklir, misalnya, dapat digunakan sebagai pembangkit listrik ramah lingkungan, tetapi juga dapat dijadikan senjata pemusnah massal. Pengetahuan dalam bidang bioteknologi dapat menghasilkan obat untuk menyembuhkan penyakit, tetapi juga dapat disalahgunakan untuk membuat senjata biologis (Ikhsan dkk., 2024).

Dengan demikian, aksiologi menegaskan bahwa ilmu tidak bersifat netral. Pemanfaatannya selalu melibatkan nilai-nilai moral, sosial, bahkan politik. Oleh sebab itu, tanggung jawab ilmuwan tidak hanya berhenti pada penemuan pengetahuan, tetapi juga memastikan pengetahuan tersebut digunakan untuk kebaikan bersama (Rokhmah, 2021).

Dalam perspektif filsafat Islam, ilmu selalu diarahkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan membawa kemaslahatan bagi umat manusia. Pengetahuan tidak boleh dipisahkan dari nilai-nilai moral. Hal ini sejalan dengan pandangan para pemikir Islam yang menekankan bahwa ilmu tanpa amal adalah kesia-siaan, dan amal tanpa ilmu adalah kesesatan.

Di era globalisasi dan digitalisasi saat ini, persoalan aksiologi semakin mendesak. Informasi menyebar begitu cepat, tetapi tidak selalu digunakan dengan bijaksana. Hoaks, manipulasi data, dan penyalahgunaan teknologi menjadi tantangan besar. Maka, pemahaman aksiologi menjadi kunci agar ilmu benar-benar menjadi rahmat, bukan mudarat.

Keterkaitan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

Meskipun dibedakan dalam teori, ketiga aspek filsafat ilmu ini sejatinya saling terkait erat. Ontologi menentukan objek yang dikaji, epistemologi memberi metode untuk mempelajari objek tersebut, sedangkan aksiologi menuntun tujuan penggunaan pengetahuan (Pratiwi dkk., 2024). Contoh nyata dapat kita lihat dalam ilmu kedokteran, ontologinya adalah tubuh manusia dan penyakit seperti epistemologinya metode medis yang aksiologinya menyembuhkan dan meningkatkan kualitas hidup.

Tanpa ontologi, kedokteran tidak tahu apa yang harus dipelajari. Tanpa epistemologi, kedokteran tidak memiliki cara untuk memastikan diagnosis dan pengobatan. Tanpa aksiologi, kedokteran bisa disalahgunakan untuk eksperimen tidak etis atau praktik komersial yang merugikan pasien (Ikhsan dkk., 2024). Dengan demikian, ketiga pilar ini harus berjalan seimbang agar ilmu tidak hanya sekadar menjawab “apa” dan “bagaimana,” tetapi juga “untuk apa.”

Penutup

Filsafat ilmu, melalui tiga pilarnya yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi, memberikan kerangka berpikir yang kokoh dalam memahami pengetahuan. Ontologi memastikan kita tahu apa yang dikaji, epistemologi membimbing bagaimana cara mendapatkan pengetahuan yang sahih, dan aksiologi menegaskan tujuan serta nilai dari pengetahuan tersebut (Munip, 2024). Di dunia yang semakin kompleks, pemahaman tentang ketiga aspek ini tidak hanya penting bagi para akademisi, tetapi juga bagi setiap individu.

Dengan memahami tiga pilar filsafat ilmu, kita dapat membangun peradaban yang lebih adil, bijaksana, dan berkelanjutan. Ilmu tidak lagi dilihat hanya sebagai alat mengejar kepentingan duniawi, melainkan sebagai jalan menuju kebijaksanaan dan kesejahteraan bersama. Inilah hakikat sejati dari ilmu yang berlandaskan filsafat.

 


Daftar Pustaka

Ikhsan, F. A., Utaya, S., Bachri, S., & Sugiarto, A. (2024). Paradigma filsafat geografi kontemporer: Kajian ontologi, epistemologi, aksiologi, dan keterampilan sainstifik. Majalah Geografi Indonesia, 38(1), 25–34. https://doi.org/10.22146/mgi.85222

Munip, A. (2024). Ilmu dalam tinjauan filsafat: Ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Al-Aulia: Jurnal Pendidikan dan Ilmu-Ilmu Keislaman, 10(1), 49–58. https://doi.org/10.46963/aulia.v10i1.1875

Pratiwi, U., Karneli, Y., & Marsidin, S. (2024). Pemahaman mendasar tentang hakekat ilmu dalam tinjauan filsafat: Ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Jurnal Filsafat Indonesia, 5(2), 81–90. https://doi.org/10.23887/jfi.v5i2.42561

Rokhmah, D. (2021). Ilmu dalam tinjauan filsafat: Ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Cendekia: Jurnal Studi Keislaman, 7(2), 201–215. https://ejurnal.inhafi.ac.id/index.php/cendekia/article/view/124

Unwakoly, S. (2022). Berpikir kritis dalam filsafat ilmu: Kajian dalam ontologi, epistemologi dan aksiologi. Jurnal Filsafat Indonesia, 5(2), 95–102. https://doi.org/10.23887/jfi.v5i2.42561

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini